Istilah pembangunan merupakan hal yang tidak asing di telinga kita. Persoalannya, tafsir pembangunan akan selalu terkait dengan tendensi arah kuasa. Pergantian corak kepemimpinan, termasuk didalamnya peralihan etape kekuasaan menempatkan format pembangunan secara berbeda, selaras laku zaman.
Pasca kemerdekaan, maka pembangunan dimaknai sebagai upaya mengisi ruang kebebasan. Kehendak untuk membangun tata kehidupan kenegaraan, diarahkan pada pencapaian kesejahteraan, dengan berpinsip adil dan makmur sebagai muara akhirnya.
Dengan begitu, frasa pembangunan tidak hanya menjadi sarana, tetapi juga merupakan suatu tujuan pembeda. Dalam hal ini, pembangunan dimaknai sebagai langkah mencapai modernitas, mengejar ketertinggalan, menjadi negara yang mampu memenuhi kehendak dan hajat warganya.
Lintasan Pembangunan
Melalui perjalanan sejarah pada era kemerdekaan, di setiap fase ragam pembangunan berbeda-beda. Di masa Orde Lama, arah pembangunan dimulai dengan pelaksanaan berbagai proyek mercusuar. Tentu hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari situasi kemiskinan yang mendera.
Lebih jauh lagi, pemerintahan Orde Lama perlu menegaskan eksistensi dirinya melalui realisasi bentuk konkrit, yang sekaligus menjadi upaya dalam memecah dua arus besar ideologi dunia yang saling bertarung pengaruh setelah usainya Perang Dunia Kedua.
Pergantian ke Orde Baru, dengan semangat melakukan pembaharuan arah kebangsaan, menciptakan model pembangunan yang tersentralisasi. Pelaksanaan pembangunan dilaksanakan sesuai instruksi pemerintah pusat. Pemaknaan pembangunan bersifat monolitik.
Dalam usahanya, untuk memperkuat pengaruh pemerintahan Orde Baru menjadikan tema pembangunan dalam arti stabilitas. Tidak boleh ada gangguan bagi kesuksesan pembangunan. Sehingga tidak memungkinkan ada suara berbeda. Frasa pembangunan menjadi sakral.
Disamping itu, penguasaan pengelolaan pembangunan diserahkan kepada lingkar dalam kekuasaan Orde Baru. Lemahnya peran institusi penyeimbang, disebabkan hampanya ruang oposisi, serta minimnya partisipasi sekaligus kekuatan dari masyarakat sipil kala itu.
Era reformasi terlahir sebagai bentuk antitesis dari Orde Baru. Peran pusat terdistribusi hingga daerah. Otonomi adalah menjadi istilah baru, yang dimaknai sebagai upaya pembangunan sesuai dengan kebutuhan riil di tingkat daerah itu sendiri. Keragaman kondisi memerlukan pendekatan berbeda di setiap wilayah.
Pada periode reformasi, ruang kebebasan kembali terbuka. Peran dan partisipasi masyarakat sipil dimulai, tidak jarang terjadi perbedaan pemahaman. Hal ini tidak pernah terjadi di era Orde Baru. Secara bersamaan, Orde Reformasi melahirkan para penguasa lokal.
Format politik yang masih menerapkan skema patron klien, mengakibatkan arah pembangunan menjadi kembali tidak seragam. Bahkan bisa jadi terputus-putus, karena kebijakan yang diambil tidak pernah utuh dalam jangka panjang. Hal itu menjadi tantangan yang terbuka hingga saat ini.